Minggu, 04 Januari 2015

Mendalami 'diam', dalam " Cupu Manik Astagina " oleh Drama Wayang Swargaloka

Jangan pernah bertanya tentang ‘diam’ nya seseorang ketika dia memutuskan diam, kalau kau sudah memilih diam maka semuanya menjadi keras dan beku. Jadilah ia seperti tugu dalam penantian yang terbuai oleh diam.



Pertunjukan Swargaloka belum lama ini yaitu pada tanggal 21 Desember 2014 sangat berkesan, bagaimana tidak? Kita di sajikan tentang suatu kisah sebelum Ramayana ada. Tentang bagaimana yang menjadikan Subali, Sugriwa, dan dewi Anjani menjadi satu sama lain yang berkaitan dalam penceritaan Ramayana nantinya. Jangan tanya bagaimana kisah ini sebenarnya, tapi ambil makna yang sudah tersaji, mencari lebih dalam karena keinginan terdalam, dan belajar dari kisah. Penulis sendiri butuh waktu yang bisa di bilang lumayan lama mencari-cari atau bahkan menggali makna yang bisa penulis jadi acuan untuk di ambil hikmah dan sisi mana yang membuat penulis paling terkesima, dan ternyata tentang ‘diam’ nya dewi Windradi.

Sebagian pecinta wayang pasti sudah tahu secara umum bagaimana kisah ini, tentang hadiah bernama Cupu Manik Astagina yang di berikan oleh Dewa Surya kepada sang Dewi Windradi yang kemudian di berikan oleh anak perempuan satu-satunya yang bernama Anjani.  Memang hadiah dari dewa selalu menyenangkan hati, dan Anjani merasakannya. Begitu memujanya hingga Anjani terlupa bahwa ada kedua kakaknya yang memperhatikan, yang kemudian mempertanyakan apa di balik genggaman Anjani yang tertutup rapat itu. Waktu tidak berdaya lagi, terbongkar apa yang di simpan oleh Anjani sehingga mengakibatkan adanya pertemuan keluarga yang di kepalai Resi Gotama  mempertanyakan tentang hadiah tersebut.

Anjani tidak bisa menahan diri untuk tidak menjawab pertanyaan ayahnya, dan berhadaplah dewi Windradi yang kini bertanggungjawab tentang hadiah tersebut. Namun, di pilihnya ‘diam’ sebagai jawaban. Berkali-kali desakan untuk menjawab tidaklah membuka rahasia terpendam sang Dewi.  Kemudian, jadilah dewi Windradi menjadi sebuah tugu karena amarah sang Resi. ‘Diam’ nya sang dewi adalah rahasia penuh makna yang tidak ingin di ketahui kedalamannya.



Entahlah, pertunjukan ini membuat penulis terkagum-kagum oleh arti ‘diam’. Ini bukan tentang diam yang tidak bersuara, tapi suara yang menjadi ‘diam’ atau kalau mau di maknai lebih umum adalah rahasia yang tersimpan rapat. Dari sini penulis sadar betul bahwa memang sudah sewajarnya setiap manusia selalu punya rahasia yang tidak bisa mereka ungkapkan. Seluas apapun pembicaraan, selalu ada makna ‘diam’ yang tersembunyi dalam sunyi. Dan, “tugu” adalah contoh rahasia yang tak terungkap, termaknai oleh kerasnya diam terjaga rapat.




Dari pertunjukan ini, penulis senang sekali memaknai ‘diam’ dan kata “tugu” itu sendiri. Kembali lagi pada penceritaan cerita ini sebenarnya banyak sekali mengandung makna bukan? Ada “tahta” atau “keindahan yang di perebutkan” kalau ingin mencari lebih dalam. Tapi, penulis sangat mengidamkan makna tugu dewi Windradi. Sebenarnya, bukan tentang apa yang teesembunyi di balik itu, tapi suatu nyata bahwa memang manusia selalu punya tugu dalam dirinya masing-masing. Selalu ada rahasia yang menjelma menjadi ‘diam’. Dan, pertunjukan drama Wayang Swargaloka ini menyajikannya begitu mengena di hati para penikmat wayang yang hadir. Menginspirasi tentang ‘diam’, luar biasa bukan? Karena kalau sudah memilih ‘diam’, dunia pun akan ikut ‘diam’.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar